Notification

×

Mendidik Dengan Iman

Rabu, 24 Juni 2020 | 01.06.00 WIB Last Updated 2020-06-24T08:06:09Z
Menjadi guru bukan hanya tentang profesi tetapi panggilan hidup. Seringkali guru kehilangan orientasinya ketika menghadapi siswa dengan macam-macam karakter dan kemampuan. Mendidik jadi kehilangan arti ketika seorang guru hanya mengukur siswa dengan angka-angka di raportnya. Pergumulan terbesar para guru adalah mendidik siswa di kelas-kelas transisi, seperti kelas TK (Taman Kanak-kanak)-A, kelas I (satu), kelas VII (tujuh) dan X (sepuluh). Umumnya siswa-siswi di kelas ini masih beradaptasi dengan perubahan dan memerlukan banyak sekali bimbingan baik dari segi kemampun intelektual maupun karakter.
Beberapa siswa akan menunjukkan perubahan di pertengahan semester awal, tetapi di sisi lain, selalu ada saja yang hingga akhir tahun pelajaran pun tidak mengalami kemajuan berarti. Di sini terkadang guru merasa lelah dan kehilangan harapan. Ditambah lagi dengan peraturan mengenai kenaikan kelas yang membuat guru-guru harus membuat keputusan penting bagi kelangsungan pendidikan seorang siswa.
Selama tujuh tahun menjadi guru di Sekolah Menengah Pertama Kristen (SMPK) Makedonia, Emilia Rosa melihat adanya perubahan paradigma dalam menentukan kenaikan kelas dalam beberapa tahun belakangan. Peraturan bukan lagi satu-satunya penentu siswa naik ke jenjang berikutnya atau tidak, tetapi lebih kepada proses yang telah dijalani siswa. Dan yang paling menarik adalah ketika guru-guru dengan sukarela bertanggung jawab untuk mendampingi secara khusus siswa yang mengalami masalah belajar, setelah siswa dapat naik ke jenjang berikutnya. Emilia melihat guru-guru semakin percaya diri dan semakin optimis akan perubahan yang mungkin akan terjadi pada diri siswa. Ini yang disebut dengan iman seorang guru. Siswa bukan benda mati, mereka berkembang melalui pembiasaan, lingkungan dan bimbingan. Siswa nakal, siswa pembangkang, siswa malas, siswa kurang daya serap, itulah yang sering menjadi problema para guru. Untuk menghadapi semua itu, guru-guru perlu saling mendukung, perlu saling peduli, dan menciptakan suasana kekeluargaan, sehingga ruang guru bisa terasa seperti suaka yang aman dan nyaman meskipun tugas siswa sudah menumpuk untuk diperiksa. Ini akan membuat mood guru lebih baik sebelum masuk ke kelas.
Iman perlu perbuatan. Sebagai guru tidaklah bijak menilai siswa hanya dalam beberapa bulan saja, perlu ada usaha lebih untuk menghadapi siswa yang memerlukan lebih banyak perhatian. Berbagai cara ditempuh, dan berbagai aspek dikaji. Tak lupa, hal ini harus menjadi bagian dari pokok doa masing-masing guru. Siswa memiliki kepintaran yang berbeda-beda. Oleh karena itu guru perlu juga mengevaluasi cara mengajarnya, perangkat dan bahan ajarnya agar sesuai dengan kebutuhan siswa.
Guru perlu meningkatkan kemampuannya. Sebagai bentuk perbuatan dari iman, guru juga harus terus belajar, menambah pengetahuannya tentang bidang keilmuannya agar relevan dengan kemajuan jaman. Guru waajib terus belajar, karena guru di zaman ini bisa kehilangan fungsi karena diganti oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan siswa memperoleh banyak pengetahuan dari internet.
Percaya tentang penyertaan Tuhan pada siswa dan perubahan yang dapat Tuhan kerjakan melalui pelayanan yang guru berikan kepada siswa. Itulah iman seorang guru. Mengajari anak yang sudah pintar bukanlah sebuah kebanggaan, tetapi melihat sendiri bagaimana siswa yang tidak pandai menjadi pandai itulah kebanggaan guru yang tidak dapat dibeli. Bisa mengantarkan siswa sampai mereka berdiri dan tersenyum bahagia menerima amplop kelulusan, itulah bukti iman seorang guru. Kekurangan siswa bukanlah alasan untuk guru berhenti memberikan pelayanan terbaik bagi mereka. Semangat untuk para guru!

Emilia Rosa
Guru SMP Kristen Makedonia
×
Berita Terbaru Update