Notification

×

Bangkit Dari Kursi Roda

Selasa, 23 Juni 2020 | 02.07.00 WIB Last Updated 2020-06-23T09:07:58Z

Dalam suatu kesempatan di tahun 2008, Yully W. Papilaya bertemu dengan sebuah keluarga dari Sydney-Australia, Rodney dan Penny Clarke beserta kedua anak laki-laki mereka, Daniel (12 tahun) dan William (10 tahun). Yang begitu menarik perhatian dari keluarga ini adalah Daniel. Dia menderita penyakit cerebal palsy (cedera otak) yang menyebabkan kelumpuhan dan kesulitan berbicara. Kelumpuhan ini membuat dia harus menggunakan kursi roda dan sangat tergantung pada orang lain untuk mengurusnya. Daniel bersama keluarganya baru saja mengunjungi Taman Nasional Tanjung Puting di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (medan yang dianggap berat yang harus dilewati seorang handicap/difabel seperti Daniel). Daniel datang bukan untuk sekedar berkunjung. Dia memiliki passion terhadap perlindungan orang utan di Kalimantan. Dia melakukan pengumpulan dana bagi pemeliharaan orang utan Kalimantan dengan dukungan yang luar biasa dari orang tuanya. Sekitar bulan Mei tahun 2007 pada suatu pertandingan olah raga, dengan berani dia mendekati Perdana Menteri Australia, John Howard, dan memohon sumbangan dana. Bulan Oktober 2007 Daniel memberikan 500.000 (lima puluh ribu) dolar Australia kepada salah satu yayasan orang utan di Kalimantan. Sangat senang mengetahui bahwa sampai sekarang Daniel dan adiknya, William, tidak berhenti berkampanye untuk rehabilitasi orang utan.

Saat pertama kali melihat Daniel di kursi rodanya, Yully merasa kasihan dan sekaligus merasa beruntung atas kondisi fisiknya yang sehat. Tetapi, saat mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Daniel, pada saat itu juga dirinya merasa bahwa dialah yang sedang duduk di kursi rodanya, terikat oleh sesuatu dan tidak mampu bergerak. Daniel adalah salah satu dari sejumlah orang yang memiliki keterbatasan fisik tetapi tidak terbelenggu oleh keterbatasannya. Cedera otak yang menyebabkan kelumpuhan fisik tidak membatasi dia untuk memikirkan hal-hal yang luar biasa. Kondisinya yang membuat banyak orang iba tidak membuat dia kurang peka pada permasalahan di sekitarnya. Bagi Daniel, kelumpuhan dan kursi rodanya bukan penghalang untuk berkarya.

Bagaimana dengan kita yang tidak cacat otak dan tidak lumpuh? Seberapa jauh kita telah mengoptimalkan bagian dari sel-sel otak kita dengan segala kemampuan yang telah Tuhan berikan? Seberapa dalam kepekaan kita pada kondisi di sekitar dan bersedia melibatkan diri di dalamnya?

Andrias Harefa dalam bukunya yang berjudul “Menjadi Manusia Pembelajar,” mengatakan bahwa seorang bayi dilahirkan sebagai seorang manusia yang belum mampu dan belum mandiri, dan karena itu belum bertanggung jawab atas dirinya. Semua manusia dilahirkan dalam keadaan sangat bergantung sepenuhnya kepada orang lain. Tetapi seorang bayi dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak, remaja, pemuda dan dewasa. Ia dapat karena ia memiliki potensi dalam dirinya. Potensi itu tidak diberikan oleh orangtuanya, tidak oleh lingkungannya, tidak oleh manusia. Potensi itu diberikan oleh Tuhan kepada manusia sebagai ciptaanNya yang unik, kreatif dan tak terbandingkan. Dan potensi itu diberikan untuk diaktualisasikan, dinyatakan, diberdayakan, dimerdekakan, dikembangkan, diasah terus-menerus, dan pada gilirannya kelak dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemberi.

Sekolah adalah tempat di mana para peserta didik dibantu dan diarahkan untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan potensi dirinya. Sebagai seorang guru terus belajar dan mengembangkan diri adalah suatu keharusan, kecuali jika dia tidak peduli dengan perkembangan anak didiknya dan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin guru menghasilkan siswa yang berkualitas dalam iman, ilmu dan karakter jika dia juga tidak bergerak maju mencapai kualitas tersebut?

Sebagian besar manusia cenderung berhenti belajar setelah “merasa dewasa” (telah selesai kuliah, telah bekerja, telah memiliki rumah, telah menikah, telah memiliki anak, dan seterusnya). Saat seseorang berhenti belajar maka proses kemunduran/kelumpuhan akan terjadi. Contoh, orang-orang yang “merasa dewasa” umumnya mampu berbicara. Tetapi mereka seringkali tidak mampu (tidak belajar lagi) untuk menyampaikan ide-ide cemerlang. Belum lagi dalam hal membaca. Saat kuliah kita bisa membaca lebih dari 20 (dua puluh) buku untuk menyelesaikan tugas/skripsi. Setelah lulus kuliah, sulit sekali untuk menyelesaikan membaca satu buku saja. Sama halnya Dalam hal mendengarkan. Kita cenderung berhenti belajar mendengarkan (listening) dan lebih banyak ingin didengarkan atau hanya mendengar (hearing). Masih banyak aspek lain dalam kehidupan yang seharusnya tidak berhenti dipelajari sampai masa hidup di dunia ini berakhir.

Daniel Clarke menjadi contoh seorang yang tidak berhenti belajar walaupun telah divonis cedera otak, dia ‘bangkit’ dari kursi rodanya, terus berproses memberdayakan dan mengasah dirinya. Tuhan akan memampukan kita untuk terus berproses dan menjadi berkat bagi sesama.


Yully Wince Papilaya

Kepala PAUD dan SD Kristen Makedonia

×
Berita Terbaru Update